Jakarta- - Ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Sebaliknya, ideologi Pancsila justru lahir dari saripati Islam. Pancasila merupakan kesepakatan bersama kalimatun sawa yang menjadi ideologi pemersatu banyak suku, agama, ras, dan sekaligus Filolog Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya'ban, mengatakan, terdapat banyak bukti sejarah menunjukkan ulama menyebut mencintai Tanah Air tidak berbeda dengan mencintai agama. Ajaran itu yang terus dipegang hingga saat ini, sehingga umat Islam di Indonesia selalu mempertahankan ideologi tersebut dapat dilihat dari jejak atau manuskrip sejarah Islam yang membahas kecintaan pada negara dan agama. Hal itu ditulis guru para ulama Indonesia, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, pada akhir abad jugaMahfud MD Bertemu Ketum PBNU, Bahas Politik Inspiratif di Pemilu 2024Dari manuskrip yang ditemukan menunjukkan, jauh sebelum semua orang membahas hal tersebut, Syaikhona Kholil Bangkalan telah menulis hubbul auton minal iman mencintai Tanah Air sebagian dari iman."Bukti lainnya bahwa pada 1916, atau 12 tahun sebelum Sumpah Pemuda didengungkan 1928, KH Abdul Wahab Chasbullah dan beberapa ulama tradisionalis lainnya di Surabaya mendirikan sebuah perkumpulan organisasi bernama Syubbanul wathon atau pemuda Tanah Air," kata Ginanjar dalam sebuah video yang ditayangkan BPIP, dikutip Sabtu 27/5/2023.Dalam pendirian organisasi tersebut, Kiai Wahab telah mendengungkan cinta Tanah Air melalui mars organisasi. Bukti lain yang memperkuat jejak Pancasila dalam sejarah Islam di Indonesia adalah manuskrip tersebut dalam bentuk kitab berbahasa Sunda-pegon yang diterbitkan di Purwakarta berjudul Nadhom Pancasila. Dalam nadhom itu diterangkan Pancasila adalah falsafah dan dasar negara yang sudah selaras dengan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah puncak perjuangan ulama dalam mempertahankan ideologi Pancasila terjadi pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo 1983. Pada acara Munas itu, para ulama bersepakat untuk menerima ideologi Pancasila sebagai asas tunggal Negara Kesatuan Republik salah satu butir yang dihasilkan dalam Munas itu, disebutkan penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat."Munas ini juga menentukan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak bertentangan dengan agama Islam," kata ulama asal Pandeglang Banten, KH Abuya Muhtadi bin KH Abuya Dimyati, mengatakan, Pancasila merupakan wasiat para orang tua terdahulu atau para pendiri bangsa agar diamalkan. Dengan begitu, bangsa Indonesia hidup rukun, damai, dan sejahtera."Pancasila itu wasiat orang tua kita. Harus dijaga dan diamalkan," kata Abuya Muhtadi.ori
KeluargaBesar Abuya Dimyati Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil "Mbah
KH Tubagus Tb Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Mama Sempur lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1259 H atau bertepatan dengan tahun 1839 M, ia merupakan putera pertama dari pasangan KH Tubagus Sayida dan Umi, selain KH Tubagus Ahmad Bakri dari pasangan ini juga lahir Tb Amir dan Ibu Habib. Keturunan Rasulullah saw Dari jalur ayahnya, silsilah KH. Tubagus Ahmad Bakri sampai kepada Rasulullah saw sebagaimana dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Tanbihul Muftarin h. 22, sebagaimana berikut KH. Tb. Ahmad Bakri bin KH. Tb. Saida bin KH. Tb. Hasan Arsyad Pandeglang bin Maulana Muhammad Mukhtar Pandeglang bin Sultan Ageng Tirtayasa Abul Fath Abdul Fattah bin Sultan Abul Ma’ali Ahmad Kenari bin Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir Kenari bin Maulana Muhammad Ing Sabda Kingking bin Sultan Maulana Yusufbin Sultan Maulana Hasanudin bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati bin Sultan Syarif Abdullah bin Sultan Maulana Ali Nurul Alam bin Maulana Jamaluddin al-Akbar bin Maulana Ahmad Syah Jalal bin Maulana Abdullah Khon Syah bin Sultan Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Sayyidina Ubaidillah bin Imam al-Muhajir ila Allah Ahmad bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Aridl bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina wa Maulana Husain bin Saidatina Fatimah az-Zahra binti Rosulillah SAW. Ayah KH Tubagus Sayida yang juga kakeknya KH Tubagus Ahmad Bakri adalah KH. Tubagus Arsyad, ia seorang Qadi Kerajaan Banten, namun KH Tubagus Sayida nampaknya tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten menggantikan posisi ayahnya dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Banten. Perjalanan KH. Tubagus Arsyad dari Banten membawanya sampai di daerah Citeko, Plered, Purwakarta, di tempat inilah Tubagus Sayida bertemu dan menikah dengan Umi, dan di daerah ini pula seorang bayi yang diberi nama Ahmad Bakri dilahirkan, Ahmad Bakri muda mendapatkan pendidikan agama dari keluarga, untuk menambah wawasan dan ilmu keislaman, ia belajar di berbagai Pondok Pesantren yang ada di Jawa dan Madura, sebelum berangkat, KH. Tb. Sayida berpesan kepada Ahmad Bakri agar jangan berangkat ke Banten apalagi menelusuri silsilahnya, ia baru diperbolehkan melakukan hal tersebut ketika masa studinya di pesantren selesai. Tidak puas belajar di Jawa dan Madura membuat KH. Tubagus Ahmad Bakri bertekad berangkat ke pusat studi Islam, yaitu Mekkah, disana ia belajar kepada ulama-ulama nusantara, setelah dianggap cukup dan berniat menyebarkan agama Islam ia kemudian pulang ke Purwakarta dan pada tahun 1911 M, ia memutuskan untuk mendirikan pesantren di daerah Sempur dengan nama Pesantren As-Salafiyyah. Beberapa santri KH Tubagus Ahmad Bakri yang menjadi ulama terkemuka diantaranya KH. Abuya Dimyati Banten, KH Raden Ma’mun Nawawi Bekasi, KH Raden Muhammad Syafi’i atau dikenal dengan Mama Cijerah Bandung, KH Ahmad Syuja’i atau Mama Cijengkol, KH Izzuddin atau Mama Cipulus Purwakarta. Di pesantren ini pula KH. Tubagus Ahmad Bakri banyak menuangkan pemikirannya dalam berbagai kitab yang ia tulis, dan selama hidupnya KH Tubagus Ahmad Bakri diabdikan hanya untuk mengaji atau thalab ilm, dan thalab ilmu inilah yang menjadi jalannya untuk mendekatkan diri kepada Allah tarekat, maka tarekat yang ia pegang adalah Tarekat Ngaji, sebagaimana ia ungkapkan dalam karyanya yang berjudul Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat pada h. 47-49 sebagaimana berikut Ari anu pang afdol2na tarekat dina zaman ayeuna, jeung ari leuwih deukeut2na tarekat dina wushul ka Allah Ta`ala eta nyatea tholab ilmi, sarta bener jeung ikhlash. Tarekat yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat dengan `wushul` kepada Allah adalah thalab ilmi serta benar dan ikhlash Pernyataan KH Tubagus Ahmad Bakri ini dikutip dari jawaban seorang Mufti Syafi`i yaitu Syaikh Muhammad Sayyid Babashil yang mendapat pertanyaan seputar tarekat dari Syaikh Ahmad Khatib. Dialog kedua ulama tersebut dikutip oleh Mama Sempur dalam dalam Kitab Idzharu Zughlil Kadzibin halaman 61. Menurut salah seorang cucu KH. Tubagus Ahmad Bakri, yaitu KH. Tubagus Zein, KH. Tubagus Ahmad Bakri pernah mengecam terhadap penganut tarekat, karena sebagian dari mereka ada yang meninggalkan syariat dan menurut KH. Tubagus Zain, kecaman ini lebih kepada melindungi masyarakat agar tetap bisa menyeimbangkan antara syariat dan hakikat. Namun demikian, dalam kitab Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat h. 32 seraya mengutip pernyataannya Syaikh Muhammad Amin Asyafi`i Annaqsyabandi, KH. Tubagus Ahmad Bakri menyatakan bahwa hukum masuk dalam salah satu tarekat mu`tabarah bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan yang sudah mukallaf adalah fardlu`ain. Sehingga menurut salah satu riwayat KH Tubagus Ahmad Bakri pun tetap menganut tarekat mu`tabarah. Adapun tarekat yang dianutnya adalah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah TQN. Sementara mengenai Tarekat Ngaji ini, bisa dilihat dari aktifitas dan kesibukan KH. Tubagus Ahmad Bakri sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang muridnya, KH Mu`tamad. Menurut Pengasuh Pesantren Annur Subang ini, setiap pukul empat pagi, KH. Tubagus Ahmad Bakri sudah bersila dan berdzikir di dalam masjid, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan shalat subuh berjamaah, selepas wiridan dan shalat berjamaah selesai, ia tetap bersila sampai waktu dluha tiba, kemudian melaksanakan shalat dluha dan dilanjutkan kembali dengan mengajar ngaji santri sampai pukul WIB. Usai mengajar ngaji santri, jadwal pengajian selanjutnya adalah mengajar ngaji kiai-kiai sekitar kampung dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur berjamaah. Kemudian ia pulang ke rumah dan istirahat. Namun ia tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu, sampai waktu ashar. Selepas shalat Ashar, KH. Tubagus Ahmad Bakri kembali mengaji bersama para santri hingga menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat sejenak dan shalat Isya, setelah shalat isya, ia kembali mengajar sampai pukul WIB. Bahkan menurut satu riwayat, kebiasaan KH. Tubagus Ahmad Bakri yang pernah diketahui oleh santrinya adalah ia tidak pernah batal wudhu sejak isya sampai subuh dan tidak pernah terlihat makan. Beguru Kepada Ulama Nusantara dan Mekkah Keluarga KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah keluarga yang taat beragama, ayahnya pun merupakan salah satu ulama kharismatik, sehingga pendidikan agama KH. Tubagus Ahmad Bakri di usia dini diperoleh melalui ayahnya. Adapun Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri meliputi Ilmu tauhid, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Hadits dan Tafsir. Menurut salah seorang cucunya, setelah ilmu dasar agama dianggap cukup, Mama Sempur memutuskan untuk menimba ilmu ke pesantren yang ada di Jawa dan Madura, beberapa ulama yang pernah ia timba ilmunya adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya Betawi, Syaikh Soleh Darat bin Umar Semarang, Syaikh Ma’sum bin Ali, Syaikh Soleh Benda Cirebon, Syaikh Syaubari, Syaikh Ma’sum bin Salim Semarang, Raden Haji Muhammad Roji Ghoyam Tasikmalaya, Raden Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Maulana Kholil Bangkalan Madura bahkan di Syaikh Maulana Kholil inilah beliau mulai futuh terbuka pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan agama Islam. Pengembaraan di dunia intelektual tidak membuat Mama Sempur merasa puas. Untuk itu akhirnya ia memutuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam kitab Idlah al-Karatoniyyah Fi Ma Yata’allaqu Bidlalati al-Wahhabiyyah h. 27, Mama Sempur menyebutkan guru-gurunya sebagaimana berikut Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Said Babshil, Syaikh Umar bin Muhammad Bajunaid, Sayyid Abdul Karim ad-Dighistani, Syaikh Soleh al-Kaman Mufti Hanafi, Syaikh Ali Kamal al-Hanafi, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ali Husain al-Maliki, Sayyid Hamid Qadli Jiddah, Tuan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Mukhtar bin Athorid dan Syaikh Muhammad Marzuk al-Bantani.AbuyaKyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati, lebih dikenal sebagai Abuya Uci (meninggal 6 April 2021), adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari Banten. Abuya Uci Turtusi adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan ayahnya, Abuya Dimyati bin Romli, yang meninggal pada awalBIOGRAFI ABUYA DIMYATI CIDAHU - BANTENAlangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan adem’ dan tenteram di hati orang yang Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru “Thariqah aing mah ngaji!” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al- Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang- ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal- fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 0300 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat – pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.Abuya KH. Muhammad Dimyati bin KH. Amin punya putra putri dari Ibu Hj Asmah 1. KH. Muhtadi Dimyati2. KH. Murtadho Dimyati3. KH. Abdul Aziz Ka Ade4. Hj. Musfiroh5. KH. Muntaqo Dimyati6. KH. Aceng Ibu Dalalah istri Abuya punya putra putri 1. Hj. Qoyimah2. KH. MujtabaSumber Abuyadimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnyaMuhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai dari pasangan dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri SpritualDibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Dan Mbah DalharMah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 0300 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.
Sejakkecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku.
Jakarta – Pakar filologi Islam, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengungkap fakta baru tentang sosok ulama besar Sunda, KH. Muhammad Dimyathi b. Muhammad Amin atau dikenal dengan Abuya Dimyathi Ginanjar, selain memiliki kepakaran dalam bidang keilmuan fikih, alat, dan tasawuf, sosok Abuya Dimyathi Cidahu juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu qira’at al-Qur’an.“Kepakaran Abuya Dimyathi Cidahu dalam bidang ilmu qira’at al-Qur’an ini tercermin dari salah satu karya beliau, yaitu al-Tabsyîr fî Sanad al-Taisîr,” ungkap Ginanjar Sya’ban dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebooknya, dikutip Sabtu 19/9/2020.Sebagaimana tersirat dari judulnya, risalah “al-Tabsyîr” memuat transmisi keilmuan dan genealogi intelektual sanad periwayatan Abuya Dimyathi Cidahu atas ilmu Qira’at Tujuh al-Qirâ’ât al-Sab’ah dari kitab “al-Taisîr fî al-Qirâ’ât al-Sab’ah” karya seorang ulama besar ilmu qira’at al-Qur’an dunia Islam yang hidup di abad ke-5 Hijri, yaitu al-Imâm Ibn Amr al-Dânî w. 444 H/ .Dalam pengantarnya, Abuya Dimyathi Cidahu menulisAmmâ ba’du. Maka berkatalah Muhammad Dimyathi anak dari Muhammad Amin al-Bantani. Tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang dapat medekatkan kita kepada Allah, ibadah yang terbilang sangat penting, ibadah yang paling dianjurkan setelah ibadah-ibadah wajib adalah menekuni ilmu pengetahuan, berdzikir, dan juga membaca al-Qur’an di setiap waktu.Dikatakan oleh Abuya Dimyathi, bahwa setiap amalan harus memiliki pondasi ilmu pengetahuan yang kokoh. Karena itu, menuntut ilmu wajib hukumnya bagi seorang Dimyathi sendiri belajar ilmu qira’at al-Qur’an dari Kiyai Dalhar Watucongol Magelang, Jawa Tengah, w. 1959, yang terkenal sebagai salah satu ulama besar pada kemudian hari, Abuya Dimyathi mengajarkan ilmu qira’at al-Qur’an kepada anak-anak dan santri-santri beliau. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Abuya Dimyathi dalam pengantar risalah “al-Tabsyîr”.Aku mengajarkan kepada anak-anakku dan kolega-kolegaku kitab “al-Taisîr” karangan Imam Abû Amrû Utsmân al-Dânî, seorang guru besar bidang ilmu qira’at al-Qur’an dalam qira’at tujuh [qira’ah sab’ah], juga nazhaman atas kitab “al-Taisîr” yang berjudul “Hirz al-Amânî wa Wajh al-Tihânî” karya Imam al-Syâthibî, yang juga dikenal dengan kitab “al-Manzhûmah al-Syâthibiyyah al-Lâmiyyah” yang disusun dalam bahr [metrum puisi Arab] “thawîl”Guru mengaji ilmu qira’at Abuya Dimyathi Cidahu, kata Ginanjar adalah KH. Dalhar Watucongol, mengambil jalur transmisi intelektual sanad keilmuan dalam bidang ini dari Syaikh Muhammad Mahfûzh b. Abdullâh al-Tarmasî al-Jâwî al-Makkî Syaikh Mahfuzh Tremas, w. 1920, seorang ulama besar madzhab Syafi’i yang mengajar di Makkah dan berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur.“Seorang sahabat, Muhammad Abid Muaffan sang santri kelana, memperlihatkan kepada saya naskah kitab ini beberapa waktu yang lalu,” ujar ini sanad lengkap ilmu qira’at Abuya Dimyathi yang berhasil dihimpun Ginanjar Sya’ban sebagaimana terdapat dalam “al-Tabsyîr”Maka aku [Abuya Dimyathi Cidahu] berkata aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Imam Abû Amrû al-Dânî, di antaranya adalah kitab ini, yaitu “al-Taisîr”, juga kitab-kitab karangan Imam Syâthibî, di antaranya adalah kitab “al-Manzhûmah al-Syâthibiyyah”, juga kitab-kitab karangan Imam Ibn al-Jazarî, di antaranya adalah kitab “al-Nasyr”, yaitu dari 1 Syaikh Muhammad Nahrâwî b. Syaikh Abd al-Rahmân yang terkenal dengan nama Syaikh Dalhar Magelang Kiyai Dalhar Watucongol, beliau dari 2 Syaikh Muhammad Mahfûzh al-Tarmasî al-Makkî Syaikh Mahfuzh Tremas, beliau dari 3 Syaikh al-Muqrî Muhammad al-Syarbînî, beliau dari 4 Syaikh Ahmad al-Lakhbûth, beliau dari 5 Syaikh Muhammad Syathâ, beliau dari 6 Syaikh Hasan b. Ahmad al-Awâdilî, beliau dari 7 Syaikh Ahmad b. Abd al-Rahmân al-Basyîhî, beliau dari 8 Syaikh Abd al-Rahmân al-Syâfi’î, beliau dari 9 Syaikh Ahmad b. Umar al-Isqâthî, beliau dari 10 Syaikh Sulthân b. Ahmad al-Mazâjî, beliau dari 11 Syaikh Saif al-Dîn Athâ al-Fudhâlî, beliau dari 12 Syaikh Syahhâdzah al-Yamanî, beliau dari 13 Nâshir al-Dîn al-Thablâwî, beliau dari 14 Syaikh al-Islâm Zakariyâ al-Anshârî, beliau dari 15 Syaikh Abû al-Na’îm Radhawât al-Uqbî, beliau dari 16 Syaikh Muhammad b. Muhammad al-Jazarî, pengarang kitab “al-Nasyr”, beliau dari 17 Syaikh Abû Muhammad Abd al-Rahmân b. Ahmad b. Alî al-Baghdâdî al-Syâfi’î, beliau dari 18 Syaikh Abû Abdillâh Muhammad b. Ahmad b. Abd al-Khâliq al-Shâigh, beliau dari 19 Abû al-Hasan Alî b. Syujâ’ al-Mishrî al-Syâfi’î, beliau dari 20 Imam Abû Muhammad Qâsim al-Syâthibî, pengarang kitab “al-Syâthibiyyah”, beliau dari 21 Abû al-Hasan Alî al-Andalusî, beliau dari 22 Syaikh Abû Dâwûd Sulaimân, beliau dari 23 Syaikh Abû Amrû Utsmân al-Dânî, pengarang kitab “al-Taisîr”Sang pengarang kitab “al-Taisîr”, yaitu Syaikh Abû Amrû al-Dânî, mengambil transmisi keilmuan dari 24 Syaikh Thâhir b. Ghalbûn, beliau dari 25 Abû al-Hasan Alî b. Dâwûd al-Hâsyiimî, beliau dari 26 Syaikh Abû al-Abbâs al-Asynânî, beliau dari 27 Abû Muhammad Ubaid b. al-Shabbâh, beliau dari 28 Imam Hafsh, beliau dari 29 Imam Âshim, beliau dari 30 Abdullâh b. Habîb al-Sulamî, beliau dari 31 Sahabat Abdullâh b. Mas’ûd, beliau dari 32 Rasulullah SAW. Hidayatuna/MK
MuhammadDimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil "Mbah Dim". kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku. Bahkan kepada putera-puterinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim menekankan artiAbuyaDimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk
JoinFacebook to connect with Kata Kata Cinta Uci and others you may know. Abuya Kyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati lebih dikenal sebagai Abuya Uci meninggal 6 April 2021 adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari BantenUci adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan .